Maaf kawan sedianya tulisan ini, ada gambarnya. tapi karena pada saat meng-up load, foto nya belum saya transfer ke flash disck. jadi next akan saya masukan. yah terangkat dari suatu realitas di Jl. Pahlawan. saat itu ada orang gila tidur di tepi jalan. di waktu siang, ia tak pedulikan hiruk pikuk jalanan. yang penting tidur.
Kalau sudah ngantuk kadang tidur dimanapun jadi. Di tengah keramaian publik pun seseorang bisa tidur dengan nyenyak. Seperti yang dilakukan orgil (orang gila) ini. Untuk mengobati rasa kantuknya, ia pun rela membujurkan tubuhnya di pinggir jalan raya. Lalu lalang pejalan kaki dan riuh ramai kendaraan bermotor tak dipedulikannya. Hanya ada satu cita mungkin, “tidur nyenyak, kantuk hilang”.
Orang gila adalah salah satu fenomena sosial yang lepas dari perhatian. Fenomena orang gila banyak, acap kali ditempatkan sebagai sampah masyarakat yang patut dibuang ke bak pembuangan. Sebagian besar dari kita sering mengkotakkan kata orang gila dengan “bocor alus”, “satu kaleng tidak penuh”, “saraf”,”sinting” dan sebagainya. Keberadaanya yang berlainan dengan khalayak umum menjadikan orang gila menjadi kaum terisolir. Dengan kata lain orang gila sama dengan “other”. Bahkan dalam pembagian social class, orang gila mungkin tidak dikategorikan masyarakat pinggiran (kaum marginal).
Kebumen merupakan salah satu daerah yang banyak menyimpan orang gila. Mereka menghiasi jalanan-jalanan kota, terminal, stasiun kereta api, pasar dan emper toko. Berpakaian compang-camping, kumuh, lethek, sampai dengan telanjang bulat adalah suguhan model yang tertampilkan dari seonggok tubuh dan jiwa yang sedang goncang dari seorang gila. Selain orang gila, pengemis pun kini merebak. Dari yang berperangai memelas, beralasan dua hari belum makan, sambil jualan tapi nggak laku-laku sampai yang meminta sedekah untuk membangun masjid dan pesantren bisa jadi akan kita jumpai setiap minggunya. Bagi masyarakat yang berada di kota, akan lebih sering menjumpainya, tinimbang warga pedesaan.
“Mengapa mereka gila?”,”kok semakin banyak orang gila, kenapa ya?” jangan-jangan menjadi sederet pertanyaan-pertanyaan yang jarang sekali kita ajukan saat kita berpapasan dengan orang gila. Yang ada dalam pikiran kita mungkin malah “orang gila kok sliweran di jalan”, atau bahkan no coment, hanya ada bisikan kecil di dalam hati “hi kasihan ya orang gila”.
Kebiasaan cara berpikir yang jarang sekali menjangkau pada akar masalah di balik fenomena kegilaan (madness) tak disangka telah membuat jurang pemisah antara si gila dengan si waras. Dampaknya yaitu, si waras tidak menjadikan “kegilaan” dari si gila sebagai bagian dari masalah sosial si waras yang perlu sentuhan penyelesaian dengan tidak menempatkan si gila sebagai “yang lain”. Cara berpikir demikian sepertinya kini tidak hanya terakumulasi di ruang nalar individu-individu, tapi sudah mengakumulasi dalam nalar Negara.
Tak jarang pemerintah kabupaten melakukan penggarukan, orang gila, pengemis dan ogah atau gepeng. Praktek penggarukan ini bisa jadi dilatarbelakangi suatu cara pandang bahwa “Orang gila adalah sampah keindahan kota, maka harus ditertibkan”. Segenap elemen keamanan, ada Satpol PP dan Polisi, dikerahkan untuk menangkapi orang-orang gila yang berkeliaran di jalanan, saat suatu daerah berharap mendapatkan penghargaan Adipura.
Negara sudah sedemikian rupa kehilangan cara yang baik untuk mengurangi orang gila. Sebagian besar warga yang waras pun sudah meniadakan orang gila dalam realitas social. Orang gila seperti ada dan tiada. Orang waras, Negara waras, tapi tidak bisa menguak akar masalah mengapa semakin banyak orang gila. Dan upaya menertibkan orang gila saja identik dengan mencampakan makhluk yang luhur yaitu manusia. Lalu kalau begitu siapa yang gila? Wallahu’alam
Recent Comments