Posted by: kiaidelan | April 12, 2009

Mengapa Partai Aceh Menang..?

Partai Aceh Unggul Partai Aceh (PA) kian meninggalkan kompetitor politik lainnya. Hampir di semua TPS yang ada di NAD, partai lokal dibawah pimpinan Muzakkir Manaf unggul atas partai lokal lainnya. Perolehan suara rata-rata disetiap TPS mencapai 50% lebih dari jumlah pemilih yang memberikan suara. Persentase ini adalah suara yang disalurkan masyarakat pada PA maupun caleg dari PA untuk DPRK dan DPRA. Dihimpun dari catatan Serambi (10/4), perolehan suara sementara PA untuk DPRK dan DPRA yang paling mencolok terjadi kecamatan Setia, Tangan-Tangan, Manggeng dan Lembah Sabil. Di TPS 1 dan 2 gampong Rubek Meupayong, Susoh, perolehan suara caleg-caleg dari partai yang didirikan para mantan kombatan GAM ini mengungguli partai lainya. Jangankan sesama partai lokal, partai nasional pun seakan tidak dibiarkan mendapat jatah suara dari rakyat Aceh.

<!– /* Font Definitions */ @font-face {font-family:”Bookman Old Style”; panose-1:2 5 6 4 5 5 5 2 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:647 0 0 0 159 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-parent:””; margin:0in; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:”Times New Roman”; mso-fareast-font-family:”Times New Roman”;} @page Section1 {size:8.5in 11.0in; margin:1.0in 1.25in 1.0in 1.25in; mso-header-margin:.5in; mso-footer-margin:.5in; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} –>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:”Table Normal”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-parent:””;
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin:0in;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:”Times New Roman”;
mso-ansi-language:#0400;
mso-fareast-language:#0400;
mso-bidi-language:#0400;}

Mungkinkah keunggulan PA identik dengan manifestasi nyata dari masyarakat Aceh yang secara lokal ingin tumbuh menjadi daerah yang makmur diatas potensi lokalnya sendiri? Dalam kaidah politik, partai politik kemudian menjadi instrumen bagaimana mendapatkan kekuasaan dan emrubah sistem dan kebijakan pembangunan. Pada akhirnya visi dan misi partai akan terwujud saat sistem kendali negara dan pemerintahan berada ditanganya.

Mengapa partai lokal lainnya seperti PBA, Partai SIRA, PAAS, PDA dan PRA tak mampu melampaui peoelah suara PA? Apakah partai lainnya itu tidak membawa visi dan misi membangun Aceh dari lokal, sebagaimana halnya PA? Khalayak tahu bahwa PDA merupakan satu-satunya partai lokal yang sangat dekat dengan kultur keislaman di Aceh. Dayah dan tengku menjadi simbol kehidupan Islam di Aceh. Partai yang kelahirannya dibidani oleh sejumlah tengku atau ulama dayah seharusnya mampu menyedot masa dari kelompok sarungan.

Partai SIRA, yang digawangi oleh wakil gubernur Aceh Muhamad Nazar, juga tak mampu menembus batas angka perolehan PA. Padahal pengalaman SIRA, saat sebelum menjadi partai politik, Muhamad Nazar dengan kawan-kawan gerakan mampu menggalan jutaan masa didepan masjid Baiturrahman untuk menyuarakan tuntutan referendum. Tapi 9 April 2009, partai SIRA belum mampu membuktikan sebagai partai berbasis masa banyak dan idelogis. PRA sebagai partai yang bisa dikatakan berhaluan kiri, karena didirikan oleh kelompok-kelompok muda berbasis gerakan sosialis rupanya mentok tak lagi mampu mendulang suara melebihi capaian suara PA.

Sekali lagi dimana letak kesuksesan strategi PA dalam memenangkan kompetisi politik 2009? Pertama, secara semantik semiotik, Partai Aceh dekat dengan lidah orang. Seseorang lebih mudah melafalkan ”Partai Aceh” dari pada Partai Gerakan Aceh Mandiri. Partai Gerakan Aceh Mandiri adalah nama yang diberikan, sebelum nama Partai Aceh menggantikannya. Kedua, PA memliki mesin politik yang lebih kuat dibanding partai lokal lainnya. Dari 23 kabupaten yang ada di NAD, boleh dibilang 60% s/d 70% kepala daerahnya memiliki afiliasi politik dengan PA. Penguasaan di tingkat setruktur pemerintahan tentu memudahkan bagi PA membangun public image bahwa keberhasilan pembangunan di NAD karena disain kebijakan yang digarap Partai Aceh. Meski untuk kali pertama PA ikut dalam gelenggang politik pemilu 2009, aktor-aktor yang mereka pasang di jajaran penguasa daerah, tentu mempermudah PA untuk membangun ikon PA sebagai partai pemerintah lokal.

Ketiga, penempatan caleg partai yang kebanyakan adalah aktor terdidik dan cukup berpengaruh di masyarakat mampu mendongkrak perolehan suara PA melejit. Sebagian besar tangan publik menempatkan PA partainya para kombatan. Bukan rahasia lagi bahwa para kombatan identik dengan para pemanggul senjata, dengan tingkat pendidikan jauh dibawah Irwandi Yusuf yang mengenyam pendidikan luar negeri. Rendahnya tingkat pendidikan para kombatan ternyata menciptakan keraguan publik pada kualitas para caleg yang ditawarkan PA. PA kemudian menyadari cara pandang publik ini. Maka PA menjalankan strategi bagaimana meminang aktor-aktor, meski notabenenya bukan eks kombatan, akan tetapi terdidik dan berpengaruh, menjadikan mereka sebagai caleg-caleg dari PA. Sedangkan para eks kombatan cukup mejalankan roda partai politiknya. Dengan demikian kelak yang akan bekerja di parlemen tidak lain adalah aktor-aktor yang telah disiapkan PA untuk bermain didalam sistem pemerintahan, dengan kendali kebijakan tetap berada di tangan partai.

Keempat, amunisi politik PA dapat dikatakan lebih kuat dari partai lokal lainnya. Dari mana PA mendapatkan amunisi partai. Selain sumbangan anggota, tidak sedikit pengerjaan proyek-proyek fisik paska tsunami ditangani oleh rekanan yang notabenenya saudagarnya adalah orang eks kombatan GAM. Dengan cara demikian amunisi keuangan partai mengalir untuk membiayai strategi partai mendulang suara. Cara ini sebenarnya adalah cara yang lazim dipakai oleh partai-partia lainya. Penguasaan partai politik atas parlemen sudah barang tentu berbanding lurus dengan keluaran kebijakan program pembangunan. Secara tidak langsung, partai politik bermain mengutak-atik anaggaran daerah bagaimana agar mengalir dalam bentuk proyek fisik yang nantinya proses pengerjaanya ditangai oleh rekanan yang mereka miliki atau sudah terkondisikan.

Kelima, pencitraan PA bukan partai GAM yang ingin merdeka dari RI disetiap kampanye. Hampir disetiap kampanye, para jurkam PA selalu menyerukan kepada basis masa dan para simpatisanya bahwa PA bukan partai GAM. Ketegasan ini saya nilai merupakan bentuk deklarasi atas kesadaran para pejuang GAM, yang menempatkan Aceh sebagai bagian dari Republik Indonesia. Deklarasi ini tentu mampu mematahkan keraguan sebagian publik akan tujuan politik GAM yang lebih dekat dengan visi sparatisme. Keenam, pengawalan cukup ketat pada para pemilih yang datang ke TPS. Menurut cerita salah satu teman dekat saya di NAD, istrinya mendapat tekanan dari seseorang, yang jelas agen dari PA, agar memilih caleg dari PA. Sebagaimana diceritakan istrinya, tekanan seperyi ini terjadi pada para pemilih lainnya. Cara-cara ini memang mendekati intimidasi hak seseorang. Yang namanya intimidasi hak kadang dilancarkan dalam bentuk berbeda dan lebih halus. Seorang teman facebook dari Kebumen cerita ada seorang caleg dari Golkar yang memanfaatkan lokasi TPS yang berada di depan rumahnya. Sang caleg, menyediakan sejumlah minuman dan makanan ringan untuk menjamu para pemilih yang mengantri menunggu giliran nyontreng.

Masa Depan Aceh di Tangan PA?

Sebelum pemilu datang 9 April lalu, banyak kalangan menilai Pemilu 2009 menjadi pertaruhan bagi para pejuang GAM untuk mewujudkan cita-cita rakyat aceh sejahtera dalam kedamaian. Maka satu-satunya jalan, mau tidak mau harus meebut kursi kekuasaan dan parlemen (DPRK dan DPRA). Karena penguasaan di dua lembaga tinggi tersebut akan menentukan arah kebijakan pembangunan di Aceh. Jika impian PA memang sama dengan impian rakyat Aceh, tentu visi dan misi pembangunan Aceh sejalan dengan impian masyarakat Aceh.

Menjustifikasi bahwa PA tidak mampu berbuat apa-apa dalam arah kebijakan pembangunan Aceh, hanya karena didirikan para eks kombatan adalah penilaian terlalu dini. Banyak sekali caleg PA yang diambil dari kalangan intelektual putra Aceh. Kelompok intelektual ini dipinang partai untuk bekerja mewujudkan, menerjemahkan visi dan misi partai dalam lanskap kebijakan pembangunan Aceh. Jika kelompok intelektual ini berhasil membangun skanario building yang baik untuk Aceh yang dama dan sejahtera, tentu untuk lima tahun ke depan PA tetap ada didalam hati rakyat Aceh. Tapi jika sebaliknya yang terjadi jangan harap PA kembali mendominasi perolehan suara pada pemilu 2014 kelak.

Lima tahun ke depan merupakan tempo pertaruhan bagi PA, menunjukan sebagai partai yang konsisten pada cita-cita rakyat Aceh aman dan sejahtera. Minimal ada dua tinjauan yang perlu dicermati PA dalam konstelasi politik mendatang. Pertama, munculnya kelompok kritis dari partai-partai politik minoritas. Adalah suatu kelaziman jika pada saatnya tiba nanti partai-partai lain akan menjadi kelompok kritis (oposisi) bagi PA sebagai partai pemerintah lokal. Kedua, kultur dasar masyarakat Aceh yang tidak memiliki karakter ”taklid pada kharisma pemimpin semata”. Rakyat Aceh lebih memilih pada sosok pemimpin yang benar-benar mampu mewujudkan mimpi dari pada mengumbar janji atau pun sekedar menjual kharisma. Saat seorang pemimpin pemeritahan mendapat nilai buruk di mata rakyat Aceh, bukan tidak mungkin ketidakpercayaan publik akan menjadi mimpi buruk bagi pemimpin tersebut. Karakter masyarakat yang demikian sejatinya mencerminkan betapa kedaulatan tertinggi ditangan rakyat masih ada di tengah-tengah rakyat Aceh. Dalam konteks ini, masa depan Aceh bukan semata-mata di pundak Partai Aceh, tapi di tangan rakyat Acehlah masa depan NAD.


Leave a comment

Categories